Ahmad Tafsir (1994) menyatakan bahwa pendidikan dalam Islam merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju taklif (kedewasaan), baik secara akal, mental maupun moral, untuk menjalankan fungsi kemanusiaan yang diemban-sebagai seorang hamba (abd) dihadapan Khaliq-nya dan sebagai 'pemelihara' (khalifah) pada semesta-(Tafsir, 1994). Karenanya, fungsi utama pendidikan adalah mempersiapakn peserta didik (generasi penerus) dengan kemampuan dan keahlian (skill) yang diperlukan agar memiliki kemampuan dan kesiapan untuk terjun ke tengah masyarakat (lingkungan). Dalam lintasan sejarah peradaban Islam, peran pendidikan ini benar-benar bisa dilaksanakan pada masa-masa kejayaan Islam. Hal ini dapat kita saksikan, di mana pendidikan benar-benar mampu membentuk peradaban sehingga peradaban Islam menjadi peradaban terdepan sekaligus peradaban yang mewarnai sepanjang Jazirah Arab, Asia Barat hingga Eropa Timur. Untuk itu, adanya sebuah paradigma pendidikan yang memberdayakan peserta didik merupakan sebuah keniscayaan.
Kemajuan peradaban dan kebudayaan Islam pada masa kejayaan sepanjang abad pertengahan, di mana peradaban dan kebudayaan Islam berhasil menguasai jazirah Arab, Asia Barat dan Eropa Timur, tidak dapat dilepaskan dari adanya sistem dan paradigma pendidikan yang dilaksanakan pada masa tersebut.
Kesadaran akan urgensi ilmu pengetahuan dan pendidikan di kalangan umat Islam ini tidak muncul secara spontan dan mendadak, namun kesadaran ini merupakan efek dari sebuah proses panjang yang dimulai pada masa awal Islam (masa ke-Rasul-an Muhammad). Pada masa itu Muhammad senantiasa menanamkan kesadaran pada sahabat dan pengikutnya (baca; umat Islam) akan urgensi ilmu dan selalu mendorong umat untuk senantiasa mencari ilmu. Hal ini dapat kita buktikan dengan adanya banyak hadis yang menjelaskan tentang urgensi dan keutamaan (hikmah) ilmu dan orang yang memiliki pengetahuan. Bahkan dalam sebuah riwayat yang sangat termashur disebutkan bahwa Muhammad menyatakan menuntut ilmu merupakan sesuatu yang diwajibkan bagi umat Islam, baik laki-laki maupun perempuan.
Setelah ke-wafat-an Muhammad, para sahabat dan umat Islam secara umum tetap melanjutkan misi ini dengan menanamkan kesadaran akan urgensi ilmu pengetahuan kepada generasi-generasi sesudahnya, sehingga kesadaran ini menjadi sesuatu yang mendarah daging di kalangan umat Islam dan mencapai puncaknya pada abad XI sampai awal abad XIII M.
Namun demikian, seiring dengan kemunduran Islam-terutama setelah kejatuhan Bagdad tahun 1258 M--, pendidikan dalam dunia Islam pun ikut mengalami kemunduran dan ke-jumud-an. Sehingga, pendidikan tidak lagi mampu menjadi sebuah 'sarana pendewasaan' umat. Dengan kata lain, sebagaimana dinyatakan Fazlur Rahman, pendidikan menjadi tidak lebih dari sekedar sarana untuk mempertahankan dan melestarikan nilai-nilai 'lama' (tradisional) dari ancaman 'serangan' gagasan Barat yang dicurigai akan meruntuhkan tradisi Islam, terutama 'standar' moralitas Islam (Rahman, 1985). Pendidikan tidak lagi mampu menjadi sebuah proses intelektualisasi yang merekonstruksi paradigma (pola pikir) peserta didik melalui interpretasi secara continue dengan berbagai disiplin ilmu sesuai perkembangan jaman (Rahman, 1994).
Akibatnya, pendidikan Islam melakukan proses 'isolasi' diri sehingga pendidikan Islam akhirnya termarginalisasi dan 'gagap' terhadap perkembangan pengetahuan maupun tehnologi. Melihat fenomena di atas, adanya upaya untuk menemukan kembali semangat (girah) pendidikan Islam tampaknya diperlukan, Hal ini merupakan salah satu upaya untuk mengangkat kembali dunia ke-pendidikan Islam sehingga kembali mampu survive di tengah masyarakat. Dan sebagai langkah awal untuk menemukan kembali semangat ini, tampaknya dapat dilakukan dengan mencoba melihat 'kilasan' perjalanan pendidikan Islam dari masa awal hingga sekarang.
Sekilas Perjalanan (Sejarah) Pendidikan IslamMeskipun penanaman kesadaran akan urgensi ilmu sudah dimulai pada masa Muhammad, bahkan pada masa-masa akhir sebelum Muhammad wafat kesadaran akan pentingnya ilmu bagi kehidupan-dapat dikatakan-sudah mendarah daging di kalangan umat Islam (Bilgrami, 1989), namun cikal bakal pendidikan Islam (dalam sebuah institusi) baru dimulai pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab (Nasr,1994).
Cikal bakal pendidikan Islam dimulai ketika Umar, secara khusus, mengirimkan 'petugas khusus' ke berbagai wilayah Islam untuk menjadi nara sumber (baca; guru) bagi masyarakat Islam di wilayah-wilayah tersebut. Para 'petugas khusus' ini biasanya bermukim di masjid (mungkin semacam ta'mir pada masa sekarang) dan mengajarkan tentang Islam kepada masyarakat melalui halaqah-halaqah-majlis khusus untuk menpelajari agama dan terbuka untuk umum (Nasr, 1994).
Pada perkembangan selanjutnya, materi yang diperbincangkan pada halaqah-halaqah ini tidak hanya terbatas pada pengkajian agama (baca; Islam), namun juga mengkaji disiplin dan persoalan lain sesuai dengan apa yang diperlukan masyarakat. Selain itu, diajarkan pula disiplin-disiplin yang menjadi pendukung kajian agama Islam. Dalam hal ini antara lain kajian tentang bahasa dan sastra Arab, baik nahwu, sorof maupun balagah. Selain terjadi pengembangan materi, terdapat pula perkembangan di bidang sarana dan prasarana 'pendidikan', yakni adanya upaya untuk membuat tempat khusus di (samping) masjid yang digunakan untuk melakukan kajian-kajian tersebut. Tempat khusus ini kemudian dikenal sebagai Maktab. Maktab inilah yang dapat dikatakan sebagai cikal bakal institusi pendidikan Islam (Nasr, 1994).
A-Ma'mun, salah satu khalifah Daulat Bani Abbasiyah, mendirikan Bait al-Hikmah di Bagdad pada tahun 815 M--- sebuah institusi yang cukup layak disebut sebagai institusi pendidikan --(Ibrahim Hassan, 1989). Pada Bait al-Hikmah ini terdapat ruang-ruang kajian, perpustakaan dan observatorium (laboratorium). Meskipun demikian, Bait al-Hikmah belum dapat dikatakan sebagai sebuah institusi pendidikan yang 'cukup sempurna', karena sistem pendidikan masih sekedarnya dalam majlis-majlis kajian dan belum terdapat 'kurikulum pendidikan' yang diberlakukan di dalamnya.
Institusi pendidikan Islam yang mulai menggunakan sistem pendidikan 'modern' baru muncul pada akhir abad X M dengan didirikannya Perguruan (Universitas) al-Azhar di Kairo oleh Jendral Jauhar as-Sigli-seorang panglima perang dari Daulat Bani Fatimiyyah-pada tahun 972 M (Mahmud Yunus, 1990). Pada al-Azhar, selain dilengkapi dengan perpustakaan dan laboratorium, mulai diberlakukan sebuah 'kurikulum pengajaran'. Pada kurikulum ini diatur urutan materi beserta disiplin-disiplin yang harus diajarkan kepada peserta didik. Meski pendirian al-Azhar bertujuan sebagai wadah 'kaderisasi' bagi kader-kader Syi'ah, namun kurikulum yang berlaku dapat dianggap sebagai sebuah kurikulum yang berimbang. Pada kurikulum al-Azhar diajarkan disiplin-disiplin ilmu agama dan juga disiplin-disiplin ilmu 'umum' (aqliyyah). Ilmu agama yang ada dalam kurikulum al-Azhar antara lain tafsir, hadis, fiqh, qira'ah, teologi (kalam), sedang ilmu akal yang ada dalam kurikulum al-Azhar antara lain filsafat, logika, kedokteran, matematika, sejarah dan geografi (Mahmud Yunus, 1990) Ketika Salahuddin al-Ayyubi (seorang sunni) pada abad XI M berhasil menguasai Kairo, sebagai pusat Bani Fatimiyyah, ia memandang adanya al-Azhar sebagai sebuah institusi pendidikan sebagai sesuatu yang sangat penting, sehingga keberadaan al-Azhar tidak diusik sama sekali, selain peniadaan materi-materi yang berbau syi'ah. Bahkan pada masa Salahuddin inilah al-Azhar berada dalam puncak kejayaan, di mana al-Azhar, menurut beberapa kalangan, dianggap mampu melaksanakan kurikulum yang berimbang antara materi agama dan pengembangan intelektual (Bilgrami, 1989).
Institusi pendidikan Islam ideal dari masa kejayaan Islam lainnya adalah Perguruan (Madrasah) Nizamiyah. Perguruan ini diprakarsai dan didirikan oleh Nizam al-Mulk-perdana menteri pada kesultanan Seljuk pada masa Malik Syah-pada tahun 1066/1067 M di Bagdad dan beberapa kota lain di wilayah kesultanan Seljuk. Madrasah Nizamiyah sebenarnya didirikan sebagai upaya membendung arus propaganda syi'ah yang berpusat di Kairo dengan al-Azharnya. Madrasah Nizamiyah pun telah memiliki spesifikasi khusus sebagai sebuah institusi pendidikan dengan spesifikasi pada teologi dan hukum Islam. Dan karena spesifikasi ini pulalah Madrasah Nizamiyah sering disebut sebagai Universitas Ilmu Pengetahuan Teologi Islam (Nakosteen, 1996).
Madrasah Nizamiyah merupakan perguruan pertama Islam yang menggunakan sistem sekolah. Artinya, dalam Madrasah Nizamiyah telah ditentukan waktu penerimaan siswa, test kenaikan tingkat dan juga ujian akhir kelulusan. Selain itu, Madrasah Nizamiyah telah memiliki manajemen tersendiri dalam pengelolaan dana, memiliki kelengkapan fasilitas pendidikan-dengan perpustakaan yang berisi lebih dari 6000 judul buku yang telah diatur secara katalog dan juga laboratorium--, memiliki sistem perekrutan tenaga pengajar yang ketat dan pemberian bea siswa untuk yang berprestasi. Sehingga Charles Michael Stanton menyatakan bahwa Madrasah Nizamiyah merupakan Perguruan Islam modern yang pertama (Charles M. Stanton, 1992 ).
Meski Madrasah Nizamiyah memiliki spesifikasi pada kajian teologi dan hukum Islam, namun dalam kurikulum yang digunakan terdapat pula perimbangan yang proporsional antara disiplin ilmu keagamaan (tafsir, hadis, fiqh, kalam dan lainnya) dan disiplin ilmu aqliyah (filsafat, logika, matematika, kedokteran dan lailnnya). Bahkan, pada masa itu, kurikulum Nizamiyah menjadi kurikulum rujukan bagi institusi pendidikan lainnya (Bilgrami, 1989).
Selain adanya institusi pendidikan yang memiliki kapabilitas tinggi, pada masa kejayaan Islam, kegiatan keilmuan benar-benar mendapat perhatian 'serius' dari pemerintah. Sehingga kebebasan akademik benar-benar dapat dilaksanakan, kebebasan berpendapat benar-benar dihargai, kalangan akademis selalu didorong untuk senantiasa mengembangkan ilmu melalui forum-forum diskusi, perpustakaan selalu terbuka untuk umum, bahkan perpustakaan pribadi dan istana pun terbuka untuk umum. (Ahmad Warid Khan, Okt 1998). Namun setelah kejatuhan Bagdad pada tahun 1258 M, dunia pendidikan Islam pun mengalami kemunduran dan kejumudan. Paradigma pendidikan Islam pun mengalami distorsi besar-besaran. Dari serbuah paradigma yang progresif dengan dilandasi keinginan menegakkan agama Allah menjadi paradigma yang sekedar mempertahankan apa yang telah ada.
Rekonstruksi Paradigma Pendidikan IslamTujuan akhir pendidikan dalam Islam adalah proses pembentukan diri peserta didik (manusia) agar sesuai dengan fitrah keberadaannya (al-Attas, 1984). Hal ini meniscayakan adanya kebebasan gerak bagi setiap elemen dalam dunia pendidikan -terutama peserta didik-- untuk mengembangkan diri dan potensi yang dimilikinya secara maksimal. Pada masa kejayaan Islam, pendidikan telah mampu menjalankan perannya sebagai wadah pemberdayaan peserta didik, namun seiring dengan kemunduran dunia Islam, dunia pendidikan Islam pun turut mengalami kemunduran. Bahkan dalam paradigma pun terjadi pergeseran dari paradigma aktif-progresif menjadi pasid-defensif. Akibatnya, pendidikan Islam mengalami proses 'isolasi diri' dan termarginalkan dari lingkungan di mana ia berada.
Dari gambaran masa kejayaan dunia pendidikan Islam di atas, terdapat beberapa hal yang dapat digunakan sebagai upaya untuk kembali membangkitkan dan menempatkan dunia pendidikan Islam pada peran yang semestinya sekaligus menata ulang paradigma pendidikan Islam sehingga kembali bersifat aktif-progresif, yakni :
Pertama, menempatkan kembali seluruh aktifitas pendidikan (talab al-ilm) di bawah frame work agama. Artinya, seluruh aktifitas intelektual senantiasa dilandasi oleh nilai-nilai agama (baca; Islam), di mana tujuan akhir dari seluruh aktifitas tersebut adalah upaya menegakkan agama dan mencari ridlo Allah.
Kedua, adanya perimbangan (balancing) antara disiplin ilmu agama dan pengembangan intelektualitas dalam kurikulum pendidikan. Salah satu faktor utama dari marginalisasi dalam dunia pendidikan Islam adalah kecenderungan untuk lebih menitik beratkan pada kajian agama dan memberikan porsi yang berimbang pada pengembangan ilmu non-agama, bahkan menolak kajian-kajian non-agama. Oleh karena itu, penyeimbangan antara materi agama dan non-agama dalam dunia pendidikan Islam adalah sebuah keniscayaan jika ingin dunia pendidikan Islam kembali survive di tengah masyarakat.
Ketiga, perlu diberikan kebebasan kepada civitas akademika untuk melakukan pengembangan keilmuan secara maksimal.. Karena, selama masa kemunduran Islam, tercipta banyak sekat dan wilayah terlarang bagi perdebatan dan perbedaan pendapat yang mengakibatkan sempitnya wilayah pengembangan intelektual. Dengan menghilangkan ,minimal membuka kembali, sekat dan wilayah-wilayah yang selama ini terlarang bagi perdebatan, maka wilayah pengembangan intelektual akan semakin luas yang, tentunya, akan membuka peluang lebih lebar bagi pengembangan keilmuan di dunia pendidikan Islam pada khususnya dan dunia Islam pada umumnya.
Keempat, mulai mencoba melaksanakan strategi pendidikan yang membumi. Artinya, strategi yang dilaksanakan disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan di mana proses pendidikan tersebut dilaksanakan. Selain itu, materi-materi yang diberikan juga disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada, setidaknya selalu ada materi yang applicable dan memiliki relasi dengan kenyataan faktual yang ada. Dengan strategi ini diharapkan pendidikan Islam akan mampu menghasilkan sumber daya yang benar-benar mampu menghadapi tantangan jaman dan peka terhadap lingkungan.
Kumudian, satu faktor lain yang akan sangat membantu adalah adanya perhatian dan dukungan para pemimpin (pemerintah) atas proses penggalian dan pembangkitan dunia pendidikan Islam ini. Adanya perhatian dan dukungan pemerintah akan mampu mempercepat penemuan kembali paradigma pendidikan Islam yang aktif-progresif, yang dengannya diharapkan dunia pendidikan Islam dapat kembali mampu menjalankan fungsinya sebagai sarana pemberdayaan dan pendewasaan umat.